Wednesday 6 March 2013

Sejarah Profesi Bidan


A.      Pengertian Bidan
Seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggungjawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi.

B.       Pengertian Profesi Bidan
Profesi bidan adalah suatu profesi yang tertua di dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu melahirkan. Peran dan posisi bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati, dan mendampingi, serta menolong ibu melahirkan sampai ibu dapat merawat bayinya dengan baik. Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
1.      Bidan disiapkan melalui pendidikan formal agar lulusannya dapat melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya secara profesional
2.      Bidan memiliki alat yang dijadikan panduan dalam menjalankan profesinya, yaitu standar pelayanan kebidanan, kode etik,dan etika kebidanan
3.      Bidan memiliki kelompok pengetahuan yang jelas dalam menjalankan profesinya
4.      Bidan memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya
5.      Bidan memberi pelayanan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
6.      Bidan memiliki organisasi profesi
7.      Bidan memiliki karakteristik yang khusus dan dikenal serta dibutuhkan masyarakat
8.      Profesi bidan dijadikan sebagai suatu pekerjaan dan sumber utama penghidupan.

C.      Perkembangan Profesi Bidan
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi sangat tinggi pada zaman pemerintah Hindia Belanda. Tenaga penolong persalinan saat itu masih dilakukan oleh  dukun. Pada tahun 1807, Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels, melatih dukun dalam pertolongan persalinan. Akan tetapi hal tersebut tidak  berlangsung lama karena tidak ada pelatihan kebidanan.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan  hanya diperuntukan oleh orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Pada tahun 1849, dibuka Pendidikan Dokter Jawa di Batavia (di RS Militer Belanda ; sekarang RSPAD Gatot Soebroto). Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851 dibuka Pendidikan Bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh dokter militer Belanda (Dr. W Bosch), lulusan ini bekerja di Rumah Sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Tahun 1952, diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Setahun kemudian, diadakan kursus tambahan bidan (KTB) di Jogyakarta, lalu berdirilah BKIA. Kegiatan BKIA : pelayanan antenatal, post natal, pemeriksaan bayi dan anak termasuk immunisasi dan penyuluhan gizi. Pada tahun 1957, BKIA menjadi Puskesmas. Kegiatan Puskesmas terdiri atas kegiatan di dalam gedung dan  di luar gedung.
Di tahun 1990 pelayanan kebidanan merata dan semakin dekat dengan kebutuhan masyarakat.
Kebijakan ini melalui intstruksi presiden secara lisan pada siding kabinet tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah pelaksana KIA (ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir), termasuk pembinaan dukun bayi, serta pelayanan keluarga berencana.
D.      Organisasi Profesi Bidan
Pada tanggal 24 Juni 1951 para bidan senior yang berdomisili di Jakarta mengadakan sebuah konferensi. Hal ini jelas merupakan wujud dari cita-cita dan perjuangan bidan yang sejak awalnya sudah turut mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Konferensi ini telah berhasil meletakkan landasan yang kuat serta arah yang benar bagi perjuangan bidan selanjutnya, yaitu mendirikan sebuah organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia (IBI), berbentuk kesatuan, bersifat nasional, berazaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sejarah Bidan Indonesia menyebutkan bahwa tanggal 24 Juni 1951 dipandang sebagai hari jadi IBI.Pengukuhan hari lahirnya IBI tersebut didasarkan atas hasil konfrensi bidan pertama yang diselengarakan di Jakarta 24 Juni 1951, yang merupakan prakarsa bidan-bidan senior yang berdomisili di Jakarta.
Konfrensi bidan pertama tersebut telah berhasil meletakkan landasan yang kuat serta arah yang benar bagi perjuangan bidan selanjutnya, yaitu mendirikan sebuah organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia (IBI), berbentuk kesatuan, bersifat nasional, berazaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada konfrensi IBI tersebut juga dirumuskan tujuan IBI yaitu ;
1.     Menggalang persatuan dan persaudaraan antar sesame bidan serta kaum wanita pada umumnya, dalam rangka memperkokoh persatuan bangsa.
2.     Membina pengetahuan dan keterampilan anggota dalam profesi kebidanan, khususnya dalam pelayanan KIA serta kesejahteran keluarga.
3.     Membantu pemerintah dalam pembangunan nasioanl, terutama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4.     Mengingkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat.
Dengan landasan dan arah tersebut, dari tahun ke tahun IBI terus berkembang dengan hasil-hasil perjuangannya yang semakin nyata dan telah dapat dirasakan manfaatnya baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri.
Adapun tokoh-tokoh yang tercatat sebagai pemrakarsa konferensi tersebut adalah : Ibu Selo Salikun, Ibu Fatimah, Ibu Sri Mulyani, Ibu Salikun, Ibu Sukaesih, Ibu Ipah dan Ibu S.Marguna, yang selanjutnya memproklamirkan IBI sebagai satu-satunya organisasi resmi bagi para bidan Indonesia. Dan hasil-hasil terpenting dari konferensi pertama bidan seluruh Indonesia tahun 1951 tersebut adalah :
  1. Sepakat membentuk organisasi Ikatan Bidan Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi yang merupakan wadah persatuan & kesatuan bidan Indonesia.
  2.  Pengurus besar IBI berkedudukan di Jakarta
  3. Di daerah-daerah dibentuk cabang dan ranting. Dengan demikian organisasi/perkumpulan yang bersifat local yang ada sebelum konfrensi ini semuanya membaurkan diri dan selanjutnya bidan-bidan yang berada di daerah-daerah menjadi anggota cabang-cabang dan ranting dari IBI.
  4. Musyawarah menetapkan Pengurus Besar IBI dengan susunan sebagai berikut :
Ketua 1            : Ibu Fatimah Muin
Ketua II           : Ibu Sukarno
Penulis             : Ibu Selo Soemardjan
Penulis II         : Ibu Ropingatun
Bendahara       : Ibu Salikun
E.       Bidan masuk ICM
Di gelanggang dunia internasional IBI aktif menggalang kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi lainnya. Pada tahun 1956 IBI diterima menjadi anggota Confederation of Midwives (ICM) yang berkantor pusat di Landon. Keanggotaan IBI dalam ICM yang merupakan organisasi bidan sedunia ini sangat besar manfaatnya bagi citra bidan dan pelayanan kebidanan di Indonesia. Melalui forum ICM ini IBI dapat memperkenalkan citra bidan Indonesia kepada dunia.
IBI senantiasa berupaya mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ICM, misalnya mengirimkan urusan pada Kongres Internasional ICM di Stockholn (1959), Rome (1960), Washington DC (1972).
Di Manila (Filipina) IBI mengutus Ibu Tien Soemarmo, Ibu H. Tjasmirah dan Ibu Murdaningsih untuk mengikuti “Joint Study Group” yang di adakan oleh ICM dan IFGO mengenai “Training and Practice of Midwives and Matirnity Nurses”.
Pada kongres Internasional Confederation of Midwives berikutnya dilaksanankan di Lausanne, Swiss (1975). Dalam perhelatan ini IBI mengirimkan delegasi yang terdiri dari: Ny. R. Juzar Bur (Ketua), Nn, Samiarti Martosewojo (pembawa makalah) berjudul “The Influence of Custums and Tradition in Midwivery in Indonesia”, Ny, Dra. Ruth Soh Sanu, Ny. Tuty Mustafa Dangkua, Ny. Aksari Jasin, Ny, Nilam Lubis, Ny, Emma, Nn. Danimar Ibrahim, dan Ny. Syarifah Jusuf.
Tahun 1978, berlangsung pula Kongres ICM di Yerussalem, Israel. Pada kesempatan ini IBI tidak mengirimkan utusan, namun IBI mengirim sebuah makalah dengan judul “Other Methods of Family Planning”. Yang dikirim melalui secretariat ICM di London.
Pada tahun 1981 kongres ICM dilangsungkan di Brighton, United Kingdom. IBI mengirimkan delegasi besar sebanyak 30 orang dengan mengikut sertakan wakil IBI dari seluruh Indonesia.
Kongres ICM tahun 1984 di Sydney, Australia dihadiri oleh anggota IBI. Tahun 1985 IBI diberi kepercayaan menjadi penyelenggara International Conferedation of Midwives Western Pasific Regional Meeting & Seminar. ,Kegiatan ini diselenggarakan di Sahid Jaya Hotel dan berhasil dengan sukses.
Suatu kendala dalam keanggotaan IBI dalam ICM adalah masalah iuran yang harus dibayar tiap tahun sesuai dengan jumlah anggota yang dimilikinya. Mengingat Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, maka IBI diberikan kelonggaran dalam pembayaran iuran. Yang diharuskan membayar iuran adalah hanya pengurus intinya saja mulai dari pusat sampai ke cabang-cabang.

No comments:

Post a Comment